Biografi Imam Bonjol Bahasa Sunda

Berbunga Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Tuanku Padri Tonggong

Portret van Tuanku Imam Bonjol.jpg

Gambar Paduka tuan Pendeta Bonjol oleh Hubert de Stuers (selingkung 1820)

Pemimpin Perang Pater

Masa jabatan


k.1821 – k.1837
Penguasa monarki Pagaruyung
Siaran pribadi
Lahir 1772

Kerajaan Pagaruyung

Caplak, Luhak Agam
Meninggal 6 November 1864 (umur 92)
Lotta, Pineleng, Minahasa, Hindia Belanda
Kebangsaan Minangkabau, Indonesia


Sinuhun Imam Caplak
(lahir di Bonjol, Luhak Agam, Pagaruyung, 1772 – wafat privat terungku dan dimakamkan di Lotta, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864) adalah salah sendiri ulama, pemimpin dan pejuang nan berperang menandingi Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Pastor pada waktu 1803–1838.[1]
Tuanku Imam Tonjol diangkat sebagai Pahlawan Kebangsaan Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, rontok 6 November 1973.[2]

Jenama asli dari Tuanku Imam Punuk adalah
Muhammad Syahab, yang lahir di Benjol lega 1 Januari 1772. Dia adalah putra terbit n partner Bayanuddin Syahab (ayah) dan Hamatun (ibu). Ayahnya, Khatib Bayanuddin Syahab, merupakan koteng alim jamhur yang berpokok dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Desimal Kota.[3]
Seumpama ulama dan pemimpin umum setempat, Muhammad Syahab memperoleh beberapa gelar, yaitu
Peto Syarif,
Malin Basa, dan
Tuanku Pater.[4]
Sunan yang Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari
Harimau nan Salapan
yaitu nan menunjuknya sebagai
Imam
(pembesar) bagi kaum Pendeta di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Padri Bonjol. Keseleo satu naskah aslinya ada di Jawatan Kearsipan dan Persuratan Provinsi Sumatra Barat Jalan Diponegoro No.4 Padang Sumatra Barat. Naskah tersebut boleh dibaca dan dipelajari di Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Sumatra Barat.

Perang Pastor

[sunting
|
sunting sumur]

Tak dapat dipungkiri, Perang Padri menghindari kenangan heroik sekaligus traumatis di mati Minangkabau. Selama sekitar 18 perian pertama perang itu (1803–1821) praktis yang bergumul merupakan sesama anak adam Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.

Pada awalnya timbulnya perbangkangan ini didasari kehausan dikalangan pemimpin ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Selam sesuai dengan
Ahlus Sunnah wal Jamaah
(Sunni) yang berpegang teguh sreg Al-Qur’an dan sunnah-sunnah Rasullullah
shalallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama nan tergabung dalam
Maung nan Salapan
mempersunting Tuanku Lintau kerjakan mengajak Aji Pagaruyung beserta Kaum Aturan cak bagi meninggalkan beberapa rasam yang lain sesuai dengan Islam (bid’ah).

Internal beberapa pembicaraan tidak terserah prolog sepakat antara Suku bangsa Rohaniwan (penamaan bikin kaum ulama) dengan
Suku bangsa Adat. Seiring itu di beberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan hingga hasilnya
Kaum Padri
di pangkal pimpinan Aji Pasaman mencaci Pagaruyung plong tahun 1815, dan berpangkal penampikan di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibu kota kerajaan ke Lubukjambi.

Lega 21 Februari 1821, kaum Adat secara absah bermitra dengan pemerintah Hindia Belanda bergumul melawan kaum Padri intern perjanjian yang ditandatangani di Padang, misal kompensasi Belanda mendapat hak akal masuk dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau).[5]
Perjanjian itu dihadiri sekali lagi oleh endap-endap keluarga dinasti kerajaan Pagaruyung di bawah didikan Ratu Tangkal Alam Bagagar yang telah mampu di Padang musim itu.

Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema sediakala April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. N domestik peristiwa ini,
Kompeni
mengikutsertakan diri dalam perang karena “diundang” oleh kaum Adat.

Reca Tuanku Imam Bonjol di Pineleng, Minahasa

Bantahan yang dilakukan oleh pasukan Pater cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Makanya sebab itu, Belanda melampaui Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch mengajak pejabat
Kaum Padri
nan kala itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol buat berbaik dengan takrif
Perjanjian Masang
pada tahun 1824. Hal ini dimaklumi karena pada saat bersamaan Belanda juga kekeringan dana dalam menghadapi perlawanan lain di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri maka dari itu Belanda dengan menyerang nagari Juru Sikek.

Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Pastor melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula inkompatibel akhirnya bersatu melawan Belanda. Di ujung penyesalan unjuk kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan rakyat Minangkabau itu koteng.[6]
Bersatunya kaum Resan dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama
Plakat Puncak Pato
di Tabek Teriris yang mewujudkan konsensus
Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah
(Adat beralaskan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur’an).

Rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kabilah Pastor atas sesama orang Minang, Mandailing dan Batak, terefleksi intern ucapannya
Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian?
(Adapun banyak syariat Kitabullah nan sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana manah kalian?).[6]

Penyerangan dan pengepungan pertahanan kaum Padri di Punuk oleh Belanda dari segala jurusan sepanjang sekitar enam wulan (16 Maret-17 Agustus 1837)[7]
yang dipimpin makanya jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar merupakan bangsa pribumi yang terdiri dari beraneka ragam suku, seperti mana Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar label para perwira bala Belanda, terdapat Mayor Jenderal Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Pemimpin kapal MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz. dan selanjutnya, belaka juga terwalak tera-stempel
Inlandsche
(pribumi) sebagai halnya Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche Luitenant Prawiro di Tanda, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.

Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 legiun Eropa, 4.130 legiun pribumi,
Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen
(pasukan pengapit Sumenep, Madura). Serangan terhadap baluwarti Kutil dimulai oleh orang-orang Bugis nan congah di babak depan n domestik invasi baluwarti Padri.

Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan laskar Belanda, di mana sreg tanggal 20 Juli 1837 menginjak dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1
sergeant, 4
korporaals
dan 112
flankeurs. Nan belakangan ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda di kontinen itu, sekarang negara Ghana dan Mali. Mereka juga disebut
Sepoys
dan berdinas dalam tentara Belanda.

Pasca- datang bantuan berusul Batavia, maka Belanda menginjak melanjutkan kembali pengepungan, dan plong musim-masa selanjutnya, geta Tuanku Imam Bonjol lebih runyam, doang ia masih enggak sudi kerjakan menunduk kepada Belanda. Sehingga sampai buat ketiga mungkin Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Benjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan kubu berusul persil liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh susukan-kanal. Barulah lega tanggal 16 Agustus 1837, Pertahanan Punuk dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.

Sri paduka Imam Kutil menyerah kepada Belanda pada Oktober 1837, dengan kesepakatan bahwa anaknya yang ikut bertempur sepanjang ini, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda.[8]
Imam Bonjol dibuang ke ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotta, Minahasa, dempet Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Prabu Imam Daging tumbuh dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut. Tuanku Imam Bonjol menulis autobiografi nan dinamakan Naskah Paduka tuan Imam Daging tumbuh yang antara lain sakti penyesalannya atas ketidakadilan dalam perang Pater.[8]
Tulisan tersebut merupakan karya sastra autobiografi pertama dalam bahasa Melayu disimpan oleh keturunan Imam Bonjol dan dipublikasikan tahun 1925 di Berkley,[9]
dan 2004[10]
di Padang.[8]

Peperangan yang telah dilakukan oleh Sultan Pendeta Boncol bisa menjadi penghargaan akan kepahlawanannya internal menentang penjajahan,[11]
misal penghargaan terbit pemerintah Indonesia yang mengoper rakyat Indonesia pada rata-rata, Pangeran Pater Jendul diangkat misal Pahlawan Nasional Indonesia sejak rontok 6 November 1973.

Selain itu, nama Tuanku Imam Bonjol juga hadir di ruang mahajana nasion sebagai etiket jalan, nama stadion, tanda universitas, sampai-sampai sreg lembaran uang Rp 5.000 jebolan Bank Indonesia 6 November 2001.[12]

Wacana

[sunting
|
sunting sumber]


  1. ^


    Radjab, M., (1964).
    Perang Paderi di Sumatra Barat, 1803-1838. Balai Pustaka.





  2. ^

    Direktorat Urusan Kepahlawanan dan Perintis Kemerdekaan, (1991),
    Wajah dan sejarah perjuangan pahlawan nasional, Vol. 3, Departemen Sosial R.I., Direktorat Urusan Kependekaran dan Perintis Kemerdekaan.

  3. ^

    Muhammad Mentari As, Cerdik pandai pembawa Islam di Indonesia dan sekitarnya, Lampion, 1996

  4. ^

    https://books.google.co.id/books?id=k57rCgAAQBAJ&pg=PT29&dq=peto+%22pendeta%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiSqNLd7N3mAhUXfH0KHTMACcQQ6AEIMTAB#v=onepage&q=peto%20%22pendeta%22&f=false

  5. ^

    G. Kepper, (1900),
    Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900, M.M. Cuvee, Den Haag.
  6. ^


    a




    b



    Sjafnir Aboe Nain,, (2004),
    Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB), transl., Padang: PPIM.

  7. ^

    G. Teitler, 2004,
    Het einde Padri Oorlog: Het beleg en de vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een bronnenpublicatie, Amsterdam: De Bataafsche Leeuw, 59-183.
  8. ^


    a




    b




    c




    Hadler, Jeffrey (2008/08). “A Historiography of Violence and the Secular State in Indonesia: Syah Rohaniwan Bondjol and the Uses of History”.
    The Journal of Beruntung Studies
    (dalam bahasa Inggris).
    67
    (3): 971–1010. doi:10.1017/S0021911808001228. ISSN 1752-0401.




    Pelataran 986-989, 1002

  9. ^

    IMAM BONDJOL, TUANKU, and NAALI, SUTAN CANIAGO. 1925. Naskah Sinuhun Padri Bondjol [manuscript in Arabic-script Minangkabau]. University of California, Berkeley. Doe Library, DS646.15.S76.I43.

  10. ^

    IMAM BONDJOL, TUANKU. 2004. Tulisan tangan Syah Imam Bonjol. Transliterator Syafnir Aboe Nain. Padang: PPIM.

  11. ^

    Kompas 10/11/2007 Oleh Suryadi, Dosen dan Peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Oceanië, Universiteit Leiden, Belanda

  12. ^

    http://www.tokohindonesia.com Pendeta Jendul, Tuanku (diakses lega 23 Juli 2010)

Tatap kembali

[sunting
|
sunting perigi]

  • Makam Tuanku Imam Bonjol

Pranala luar

[sunting
|
sunting sumber]

  • (Indonesia)
    Bio Pastor Bonjol di Ensiklopedi Tokoh Indonesia Diarsipkan 2022-11-26 di Wayback Machine.



Source: https://id.wikipedia.org/wiki/Tuanku_Imam_Bonjol