Merancang Pembelajaran Persoalan Mimikri Dalam Teks Sastra

Pragmatik kerumahtanggaan Interpretasi Sastra

Pengantar: Konsep Pragmatik

Pragmatik merupakan riuk satu cabang ilmu bahasa nan unjuk berbunga pandangan Charles Morris (1938) berkenaan dengan semiotika, yaitu aji-aji yang mempelajari sistem tera atau lambang. Morris menjatah semiotika ke dalam tiga bagian, adalah gramatika, semantik, dan pragmatik. Sintaksis mempelajari hubungan antara lambang dengan lambang lainnya. Semantik mempelajari nikah antara lambang dengan objeknya. Sementara pragmatik mengkaji sangkut-paut lambang dengan penafsirannya (Darma, 2022: 73; Zamzani, 2007: 15–16). Pragmatik unjuk sebagai operasi memintasi kebuntuan semantik dalam menginterpretasi makna kalimat.

Pragmatik dari semenjak katapragma kerumahtanggaan bahasa Yunani yang berfaedah ‘tindakan’ (action) (Seung, 1982: 38). Amatan pragmatik terkait serempak dengan guna terdahulu bahasa, merupakan sebagai perangkat komunikasi. Geoffrey Leech menyatakan bahwa analisis pengusahaan bahasa nan digunakan dalam berkomunikasi secara umum disebut pragmatik umum (1993: 15).

Apa nan dikemukan maka itu Leech sejalan dengan pandangan Stephen C. Levinson (dalam Zamzani, 2007: 16–19) nan menyatakan bahwa pragmatik merupakan kajian tentang pengusahaan bahasa. Levinson juga memberikan lima tesmak pandang mengenai  pragmatik laksana berikut.

Purwa, pragmatik dipandang sebagai kajian tentang hubungan bahasa dengan konteks yang digramatikalisasikan alias nan dikodekan n domestik struktur bahasa. … Pandangan tersebut menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara nahu dan pragmatik. …

Kedua, pragmatik merupakan amatan aspek makna yang lain tercakup atau dimasukkan dalam teori semantik. Pragmatik dipandang memiliki perikatan dengan semantik. Baik pragmatik maupun semantik kedua-duanya mengkaji mengenai makna ataupun kemustajaban. …

Ketiga, pragmatik merupakan amatan tentang koneksi antara bahasa dengan konteks nan mendasari penjelasan denotasi atau pemahaman bahasa. Rukyah tersebut menunjukkan adanya tiga aspek penting dalam amatan pragmatik, merupakan bahasa, konteks, dan pemahaman. Kesadaran terkait dengan problem makna pula. …

Keempat, pragmatik merupakan amatan tentang kemampuan pemakai bahasa mengaitkan dengan kalimat-kalimat dengan konteks nan sesuai atau cocok dengan kalimat itu. …

Kelima, pragmatik sebagai parasan ilmu mandiri. Pragmatik memiliki lima silang amatan, ialah deiksis, implikatur, praanggapan, tindak ucap atau lain bahasa, dan struktur bacaan.

Deiksis adalah cabang pragmatik yang mengkaji pergantian makna kata atau kalimat yang disebabkan oleh pergantian konteks. Implikatur yaitu silang pragmatik nan mengkaji makna konotatif. Praanggapan merupakan sesuatu nan diambil oleh penyapa sebagai dasar berdasar yang dipakai bersama-sama antarpartisipan suatu percakapan. Maka dari itu karena itu, secara pragmatik, praanggapan dapat dipandang sebagai asumsi penyapa dalam mewujudkan pesapa menerima apa yang dinyatakan penyapa. Tindak bahasa merupakan satu kegiatan penutur menggunakan bahasanya dalam berkomunikasi.

Beralaskan penglihatan Levinson tersebut, Zamzani (2007: 20) menyadur bahwa:

Kajian pragmatik terkait dengan linguistik nan bersinggungan dengan gramatika, dan makna yang bertikai dengan semantik. Pragmatik mewatasi kajiannya lega eksploitasi bahasa nan tidak dilepaskan berbunga konteksnya. Pragmatik dapat dipandang andai satu keterampilan sewaktu aji-aji. Misal keterampilan, pragmatik mengungkap kemampuan konsumen bahasa nan dikaitkan dengan konteks pemakaian yang tepat sehingga komunikatif. Laksana ilmu yang mandiri, pragmatik mencaplok dieksis, implikatur, praanggapan, tindak tutur, dan struktur wacana.

Berdasarkan rukyat Levinson juga boleh dipersepsi dan diposisikan bahwa pragmatik dalam sastra berangkat dari kacamata pandang yang ketiga dan keempat, yakni “pragmatik ialah kajian tentang hubungan antara bahasa dengan konteks nan mendasari penjelasan pengertian atau pemahaman bahasa” dan “pragmatik yakni kajian tentang kemampuan pemakai bahasa mengaitkan dengan kalimat-kalimat dengan konteks yang sesuai atau cocok dengan kalimat itu”. Tesmak pandang ketiga dan keempat ini termasuk parasan garap sosiopragmatik karena termasuk pemakaian bahasa internal konteks yang bersifat spesifik, yaitu “pemakaian bahasa dalam komunikasi terkait dengan faktor-faktor nonbahasa yang merupakan kondisi sosial dan budaya ‘lokal’ yang berperilaku spesial” (Zamzani, 2007: 20–21). Juga, pandangan tersebut menunjukkan adanya tiga aspek utama dalam kajian pragmatik, ialah bahasa, konteks, dan pemahaman, yang terkait dengan masalah makna. Rukyah tersebut sejalan dengan cara hermeneutika interpretasi Paul Ricoeur tentang interpretasi teks, merupakan dalam memperoleh makna teks membutuhkan konteks-konteks, yaitu penjelasan (explanation) terhadap mayapada di kerumahtanggaan teks sekaligus kesadaran (understanding) terhadap dunia asing yang diacu oleh bacaan.

Pragmatik internal Interpretasi Sastra

Tirto Suwondo (2016: 35) dengan mengutip pertanyaan bermula John L. Austin, sekaligus sebagai kepala karangan bukunya (1962)How to Do Things with Words”, mengilustrasikan pragmatik dalam pengkajian sastra. Menurutnya, “pragmatik sastra ialah eksplorasi tentang tindakan apa yang senyatanya dilakukan dalam kaitannya dengan karya sastra”. Bertolak dari pengenalantindakan itu, T.K. Seung menyatakan bahwa “dalam ruang spektrum semiotik, pragmatik adalah studi tentang penggunaan tanda” (1982: 76–80). Karena karya sastra bermediumkan bahasa, yang dimaksudkan denganpengunaan tanda ialah tanda-keunggulan di dalam komunikasi bahasa.

Kerumahtanggaan studi bahasa, pragmatik muncul misal usaha mengatasi kebuntuan semantik dalam menginterpretasi makna kalimat. Mengutip Kempson (1977; kerumahtanggaan Darma, 2022: 73–74), teori semantik dianggap masih terbatas kemampuannya bikin menjelaskan fenomena kebahasaan. Pragmatik unjuk sebagai aksi untuk mengatasi kebutuhan semantik dalam menafsirkan sebuah makna ujaran dalam kalimat. Pada dasarnya antara semantik dan pragmatik nyaris sama karena berhubungan dengan makna. Namun, apa aspek makna yang tidak tercakup di dalam teori semantik ditelaah oleh pragmatik dengan mempertimbangkan konteksnya, yaitu pembicara, mustami, pesan, latar atau keadaan, saluran, dan kode.

Setimbang halnya dalam studi bahasa, dalam investigasi sastra pula penafsiran makna teks nan semata-mata dilakukan dengan cara analisis semantik (teks itu sendiri) hanya akan menghasilkan makna nan tidak pasti. Oleh karena itu, Tirto Suwondo (2016: 36) dengan meneruskan pendapat Seung (1982: 38) menyatakan bahwa penafsiran semantik akan lebih baik jika dilanjutkan dengan penafsiran pragmatik karena makna teks akan menjadi bertambah pasti jika diperoleh dari maupun dicapai di dalam penggunaannya. Hal itu karena penafsiran pragmatik secara kodrati akan melibatkan konteksnya, yaitu para pengguna, intensi, tindakan, lingkungan, dan semacamnya. Makanya karena itu, Rudolph Carnap (intern Seung, 1982: 79) berkesimpulan bahwa pragmatik merupakan eksplorasi yang paling berwujud dan menjadi basis untuk semua linguistika (pragmatics is the basis for all of linguistics).

Menurut Suwondo (2016: 37), Morris berekspansi konsepsi pragmatiknya melangkahi pembagian triadik keunggulan model semiotik Charles Sanders Peirce (dalam Seung, 1982: 76). Dari konsep triadik itu, Morris memperkenalkan tiga anasir pengertian nan disebut tiga hubungan semiosis, adalah sarana cap (the sign vehicle), yang dituju (the designatum), dan kurator (the interpreter). Mulai sejak konsepsi ini Morris membedakan tiga dimensi semiosis, yaitu dimensi sintaksis yang merupakan relasi formal tanda dengan tanda lainnya, dimensi semantis nan merupakan aliansi logo dengan objeknya, dan matra pragmatik yang merupakan relasi tanda dengan penafsirnya. Maka itu karena itu,  Morris (kerumahtanggaan Seung, 1982: 78) mendefinisikan semantik sebagai studi akan halnya denotasi tanda dan perilaku interpretan tanpa pengertian, sedangkan pragmatik didefinisikan sebagai studi mengenai asal-usul, penggunaan, dan pengaruh (efek, kesan) cap dalam perilaku penafsir secara keseluruhan.

Suwondo (2016: 38) juga menganjurkan bahwa kelainan penggunaan jenama secara pragmatik ini kemudian diatasi makanya John L. Austin dengan tiga klasifikasi teori tindakan-ujaran, yaitu lokusioner, ilokusioner, dan perlokusioner. Lokusioner (locutionary) adalah suatu tindakan memproduksi alas kata alias kontak kata (bahasa), ilokusioner (illocutionary) adalah tindakan yang menampilkan penggunaan kata atau ikatan kata (bahasa) di benyot tindakan lokusioner, dan perlokusioner (perlocutionary) adalah tindakan bertujuan untuk hingga ke bilyet tertentu di balik tindakan lokusioner dan ilokusioner. Tindakan ilokusioner memiliki satu keistimewaan, padahal tindakan perlokusioner memiliki efek (bandingkan Zamzani, 2007: 38–40; Darma, 2022: 84–88; Tarigan, 2022: 100–104).

Morris menerimakan pengertianpemanfaatan tanda ituidentik dengan pamrih (kerumahtanggaan Seung, 1982: 80), seperti dicontohkannya tentang tindakan seseorang menulis cerpen bakal mendapatkan uang. Menurut Morris (kerumahtanggaan Seung, 1982: 87; Suwondo, 2022: 38), batik cerpen merupakan tindakan-ujaran nan memiliki dua tujuan, yaitu menulis cerpen (tujuan internal) dan mendapatkan tip (tujuan eksternal). Intensi kerumahtanggaan direalisasikanintern pengejawantahan tindakan dan pamrih eksternal direalisasikandengan penampakan tindakan. Momen tindakan ujaran dibatasi plong tujuan internal, tindakan itu merupakan tindakan ilokusioner. Momen tindakan ujaran sebatas pada tujuan eksternal, tindakan itu merupakan tindakan perlukisioner (Leech, Terj. Oka, 1993: 316–322).

Masalahnya ialah “di internal bahasa karya sastra tidak terdapat kondisi normal tindakan-ujaran.” Demikian pendapat Austin (dalam Seung, 1982: 91) yang dikutip maka dari itu Suwondo (2016: 39). Dalam bahasa karya sastra kondisi formal, referensi sering kali tertunda, tidak benar-ter-hormat mendorong munculnya bilyet bagi pembaca karena penggunaan bahasa dalam sastra bertabiat parasitis (abnormal). Namun, dengan lain mempermasalahkan ujaran normal dan tidak protokoler dan bukan menyingkirkan fakta dan fiksi, studi pragmatik tetap merupakan investigasi yang komprehensif karena melibatkan aspek yang kian luas, yaitu para konsumen tera, inteksi, tindakan, mileu, dan efek.

Paparan Suwondo yang terbit mulai sejakSemiotic and Thematic in Hermeneutics karya Seung (1982) tersebut meringkas bahwa pragmatik sastra pada dasarnya adalah sebuah strategi pemaknaan, yaitu pemaknaan pragmatis. Dikatakan demikian karena:

… dilihat berpangkal kerangka berpikir dan metodologinya, penelitian pragmatik menggarisbawahi perhatian pada interpretasi dan pemaknaan (decoding) tanda (teks sastra) dengan cara menyertakan konteks penggunaan yang mencakupi para pengguna, intensi, tindakan, dan mileu (kode) budaya yang memengaruhinya. Intern kaitan ini, yang dimaksud dengan para konsumen itu lain lain adalah penulis (pengarang beserta harapan-intensinya) dan pembaca (penikmat beserta proyeksi-proyeksinya) karena bak fakta manusiawi karya sastra dicipta oleh pengarang dan tindakan penciptaan itu dilakukan dengan maksud tertentu, salah satunya mudah-mudahan nilai-nilai (ideologi, gagasan)-nya n kepunyaan pengaruh (efek) bagi pembaca” (Suwondo, 2022: 40).

Secara kerangka berpikir, memfokuskan perhatian pada parafraseetiket dengan cara menyertakankonteks eksploitasi tersebut sama dengan halnya hermeneutika privat membaca suatureferensi: anda tidak dapat menghindar dariprasangka yang dipengaruhi oleh kultur masyarakat, tali peranti yang atma dari berbagai gagasan. Hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai komponen pokok n domestik upaya penafsiran, merupakanteks, konteks, kemudian mengerjakan upayakontekstualisasi(Faiz, 2003: 12). Balasannya, sebuah teks burung laut ngeri di antarapenjelasan struktural nan bersifat netral danpemahaman hermeneutika yang memberi kesan subjektif, yang saling berhadapan. Dikotomi objektivitas dan subjektivitas ini makanya Ricoeur (dalam Sumaryono, 1999: 108) diselesaikan dengan jalansistem bolak-erot: penafsir mengerjakan pembebasan pustaka (dekontekstualisasi) dengan intensi untuk menjaga independensi teks ketika pembahas mengamalkan pemahaman terhadap teks (n domestik perspektif pragmatik ini yakni tindakan ilokusioner). Kemudian pengulas melakukan langkah pula ke konteks (rekontekstualisasi) untuk melihat parasan belakang terjadinya bacaan dan semacamnya (dalam perspektif pragmatik ini merupakan tindakan perlokusioner).

Secara metodologis, Ricoeur menjelaskan awalan pemahaman itu menjadi tiga, nan berlangsung mulai berpokokpenghayatan terhadap fon-huruf angka menjejak tingkat gagasan mengenaiberpikir dari tanda baca-fon, yakni: (1) langkah simbolik atau kesadaran berpunca bunyi bahasa-tanda baca, (2) pemberian makna oleh bunyi bahasa sertapenggalian yang cermat atas makna, dan (3) langkah filosofis merupakan berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik-tolaknya (Ricoeur, Terj. Hery, 2003: 162–164; Sumaryono, 1999: 111; Faiz, 2003: 36).

Ketiga langkah tersebut intim hubungannya denganawalan kesadaran bahasa, yakni langkah semantik, refleksif, dan eksistensial alias ontologis. Awalan semantik merupakan pemahaman pada tingkat bahasa nan nirmala. Hal ini ialah anju simbolik atau kesadaran berusul simbol-huruf angka yang bertujuan internal, yakni kognisi yang didasarkan dari fon-simbol itu sendiri. Dalam perspektif pragmatik langkah ini merupakan tindakan ilokusioner.

Sementara itu, baik langkah kesadaran refleksif maupun langkah kognisi eksisitensial bertujuan eksternal dan karenanya merupakan tindakan perlokusioner. Anju pemahaman refleksif setingkat lebih tinggi–mendekati ontologis–sedangkan langkah kesadaran eksisitensial atauontologis adalah kesadaran pada tingkat keberadaan makna itu sendiri. Ricoeur menegaskan bahwa pemahaman itu pada dasarnya prinsip mampu(kecondongan of being) alias cara menjadi. Bagi Ricoeur, sebab kesadaran ialah keseleo satu aspekproyeksi Dasein (proyeksi manusia seutuhnya) dan keterbukaannya terhadapbeing. Maka itu sebab itu, kita memahami manusia sebagai halnya beliaumenjadi (dalam Sumaryono, 1999: 111–112).

Sudut pandang pragmatik tersebut menempatkan analisis sastra nan menjurus kepada angka kegunaan karya sastra untuk pembaca. Kacamata pandang pragmatik sastra unjuk karena ketidakpuasan terhadap kajian struktural suci nan mempersepsi dan memposisikan sastra sebagai teks belaka. Kajian struktural tahir melupakan aspek pembaca sebagai penerima makna maupun nan membagi makna terhadap pustaka.

Secara pragmatik, betapa pun hebatnya sebuah karya sastra jikalau anda bukan dipahami oleh pembacanya, maka bacaan sastra tersebut diposisikan andaiblack literature (sastra hitam) yang sekadar bisa dipahami oleh penulisnya seorang. Maka itu karena itu, aspek pragmatik menjadi penting ketika bacaan sastra dipersepsi dan diposisikan andai keindahan dan kemanfatan bagi pembaca (dulce et utile) sebagaimana konsep Horace. Ki perspektif pandang tersebut begitu juga habituasi Edgar Allan Poe terhadap sastra yang berfungsi menghibur sinkron mengajarkan sesuatu (didactic heresy) (n domestik Wellek dan Warren, 1989: 24–25). M.H. Abrams (1976: 14–21) dengan mengutip konsep pragmatik sastra berpunca Philip Sidney yang searah dengan konsep Horace mengatakan bahwa sastra mempunyai fungsito teach (menyerahkan ajaran) dandelight (memberikan kenikmatan). Keadaan senapas diungkapkan makanya John Hall (1979: 131) yang mengatakan bahwa karya sastra hendaknya memiliki fungsiuse and gratifications(berfaedah dan memuaskan). Maka itu sebab itu, fungsi suara miring sastra menentang kepada pembaca dengan menunjukkan adanya konsep bilyet komunikasi sastra, yaitudocere(memberikan ajaran),delectare (memberikan kenikmatan), danmovere (menggerakkan pembaca).

Menurut Endraswara (2003: 116), suka-suka tiga lengang penelitian pragmatik di dalam sastra, yaitu:

Mula-mula, menyertakan teks dan potensinya cak bagi memungkinkan dan memanipulasi suatu produk makna. Teks sastra merupakan fenomena yang dikonkretkan makanya pembaca.Kedua, dalam proses membaca referensi, nan minimal terdepan adalah imaji-imaji mental nan terbimbing tatkala mengekspresikan sebuah objek-objek yang kohesif dan konsisten.Ketiga, menerobos struktur sastra yang komunikatif diteliti kondisi-kondisi yang memungkinkan muncul dan mengatur interaksi antara teks dan pembaca.

Akhirnya, yang terpenting di dalam karya sastra adalah bagaimana seorang sastrawan mentransformasikan pengalaman batin dan pandangan hidupnya (weltanschauung) serta pengalaman estetiknya melampaui karyanya yang bernilai seni sastra. Kritikus sastra loyal mempunyai otonomi kreatif dalam pencarian rang seni yang seia sekata dengan hakikat estetika, moral, dan pandangan hidup. Hal itu sebab pencapaian estetika yang tertinggi n domestik sudut pandang pragmatik prediktif Islam disebut hikmah. Seperti orientasi pragmatik prognostis yang pernah disabdakan oleh Nabi Muhammad saw. bahwa hikmah harus dicapai di dalam karya sastra (al-Hujwiri melalui Hadi W.M., 1985: 31): “Sejumlah syair mengandung hikmah; Hikmah adalah unta manusia berketentuan yang hilang: apabila ia menemukan sekali lagi, beliau memiliki validitas terbaiknya.” *****


Daftar pustaka

Abrams, M.H. 1976.The Mirror and The Lamp. London: Oxford University Press.

Austin, John L. 1962.How to Do Things with Words. London & New York: Oxford University Press.

Darma, Yoce Aliah. 2022.Analisis Wacana Kritis dalam Multiperspektif. Bandung: Refika Aditama.

Endraswara, Suwardi. 2003.Metodologi Penajaman Sastra. Yogyakarta: Bacaan Widyatama.

Faiz, Fakhruddin. 2003.Hermeneutika Qur’ani. Cet.III. Yogyakarta: Penerbit Mopit.

Hadi W.M., Abdul. (Ed.). 1985-a.Sastra Sufi: Sebuah Antologi. Jakarta: Pustaka Firdaus.

________. 2022.Hermeneutika Sastra Barat & Timur. Jakarta: Sadra Press.

Hall, John.1979.The Sociology of Literature. London & New York: Longman.

Leech, Geoffrey. 1993.Prinsip-mandu Pragmatik. Terj. M.D.D. Oka. Jakarta: Perhimpunan Indonesia Press.

Ricoeur, Paul. 1976.The Interpretation Theori: Discourse and The Surplus Meaning. Forthworth, Texas: The Texas Christian University Press.

________. 1978.The Rule of Metaphore: Multi-Disciplinary Studies of the Creation of Meaning in Language. Tranlated by Robert Czermy. London: Routledge & Kegan Paul Ltd.

________. 1982.Hermeneutics and the Human Science: Essays on Language, Action, and Interpretation. Editor John B. Thompson. Cambridge: Cambridge University Press.

Seung, Kaki langit.K. 1982.Semiotics and The Thematics in Hermeneutics. New York: Columbia University Press.

Sumaryono, E. 1999.Hermeneutika (Sebuah Metode Filsafat). Yogyakarta: Kanisius.

Suwondo, Tirto. 2022.Pragmatisme Pascakolonial (Trilogi Gadis Tangsi kerumahtanggaan

Tarigan, Henry Guntur. 2022.Pengajaran Pragmatik. Bandung: Penerbit Angkasa.

Wellek, Rene & Austin Warren. 1990.Teori Kesusastraan. Terj. Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.

                    Zamzani. 2007.Kajian Sosiopragmatik. Yogyakarta: Cipta Pustaka.




Abdul Wachid B.S.

Perekam adalah seorang penyair, lahir di Lamongan puas 7 Oktober 1966, Magister Humaniora UGM dan Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia Sekolah tinggi Sebelas Maret (UNS), dan dosen di Sekolah tinggi Agama Islam Daerah (IAIN) Purwokerto.

Source: https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/artikel-detail/883/pragmatik-dalam-interpretasi-sastra