Zakat Tanaman Dan Buah-buahan Bahtsul Masail Assarwani


Kewajiban Zakat Hasil Pertanian Dan Buah-Buahan N domestik Islam.
Zakat merupakan hal yang harus dilakukan privat Selam dikarenakan zakat merupakan keseleo satu dari rukun Islam. Selain bersyahadat, shalat, puasa, ibadah haji, zakat yakni beban seorang muslim lakukan dilaksanakan sesuatu syarat dan ketentuannya.

Zakat dilihat berpunca dagangan yang teristiadat dizakati itu cak semau beberpa jenis, salah satunya adalah zakat hasil pertanian dan biji pelir-buahan. Pada kesempatan siapa ini, dalamislam.info akan menjelaskan tentang kewajiban zakat hasil pertanian dalam buah-buahan kerumahtanggaan ketentuan Selam.

Dalil Zakat Hasil Pertanian dan Buah-buahan

Zakat Hasil pertanian disyariatkan dalam Islam berdalilkan al-Qur`ân dan as-Sunnah serta Ijmâ’. Diantara dalil tersebut adalah:

1. Firman Allâh Azza wa Jalla dalam al-Quran :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

Hai cucu adam-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allâh) sebagian terbit hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari segala nan Kami campakkan terbit bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih nan buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, sementara itu kamu koteng tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allâh Maha Makmur lagi Maha Terpuji. [al-Baqarah/2:267]

Dalil al-Quran kedua: Firman Allâh Azza wa Jalla:

وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ ۚ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ ۖ وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Dan Dialah yang menjadikan tegal-tegal nan berjunjung dan nan lain berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima putih yang serupa (tulang beragangan dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-jenis itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah sira bersisa-lebihan. Senyatanya Allâh bukan menyukai orang yang berlebih-lebihan. [al-An’am/6:141] 3.

2 Dalil Hadis, merupakan:

Hadits Abdullâh bin Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : فِيْمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْعُيُوْنُ، أَوْ كَانَ عَثَريّاً : الْعُشُرُ، وَمَا سُقِيَ باِلنَّضْحِ: نِصْفُ الْعُشُرِ Pada pertanaman nan tadah hujan maupun mata air atau yang memperalat penyerapan akar tunjang (Atsariyan) diambil sepersepuluh dan yang disirami dengan penyiraman maka diambil seperduapuluh. [HR al-Bukhâri] 4.

Hadits Jâbir polong Abdillah Radhiyallahu anhu bahwa beliau mendengar Utusan tuhan Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: فِيْمَا سَقَتِ الأَنْـهَارُ وَالْغَيْمُ: الْعُشُوْرُ، وَفِيْمَا سُقِيَ بِالسَّانِيَةِ: نِصْفُ اْلعُشُرِ Semua yang diairi dengan kali besar dan hujan maka diambil sepersepuluh dan yang diairi dengan disiram dengan pengairan maka diambil seperduapuluh [HR Orang islam] 5.

Hadits Mu’âdz polong Jabal Radhiyallahu anhu yang berbunyi : بَعَثَنِيّ رَسُوْلُ اللهِ إِلَى الْيَمَنِ فَأَمَرَنِيْ أَنْ آخُذَ مِمَّا سَقَتِ السَّمَاءُ: الْعُشُرَ، وَفِيْمَا سُقِيَ باِلدَّوَالِيْ: نِصْفَ الْعُشُرِ Rasûlullâh mengutusku ke kawasan Yaman lalu memerintahkan aku untuk mengambil berpangkal yang disirami hujan sepersepuluh dan yang diairi dengan pengairan spesial maka seperduapuluh [HR. an-Nasâ’i dan dishahihkan al-Albâni rahimahullah dalam Shahîh Sunan an-Nasâ`i 2/193]

3. Dalil Ijma’

Padahal Ijma’ telah menetapkan tanggung zakat pada gandum, berpangku tangan sangar dan kurma sama dengan dinukilkan maka itu Ibnul Mundzir rahimahullah dan Ibnu Abdilbarr rahimahullah serta Ibnu Qudâmah rahimahullah.

SYARAT Wajibnya ZAKAT Plong HASIL PERTANIAN DAN BUAH-BUAHAN

1. Barang Berupa Ponten-bijian atau Buah-buahan

Ini berdalilkan hadits Abu Sa’îd al-Khudri Radhiyallahu anhu secara marfu’ yang berbunyi: لَيْسَ فِيْ حَبٍّ وَلاَ ثَمَرٍ صَدَقَةٌ حَتَّى يَبْلُغَ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ… Tidak ada (bagasi) zakat lega biji-bijian dan buah kurma hingga mencapai 5 ausâq (lima wasaq) [HR Mukmin] Hadits ini menunjukkan adanya kewajiban zakat plong biji-bijian dan buah kurma, selainnya tidak dimasukkan disini.

2. Boleh ditakar

Boleh ditakar karena diukur dengan wasq merupakan satuan alat takar, begitu juga dalam hadits diatas.

Syarat ini masih diperselisihkan para ulama.

Syaikhul Islam Anak laki-laki Taimiyah rahimahullah menyanggah persyaratan dapat ditakar.

Beliau rahimahullah menyatakan bahwa syarat “bisa ditakar” itu sekadar ada lega produk ribawi cuma sebaiknya terlaksana kesetaraan yang mu’tabar.

Dan syarat ini tidak bermain privat ki aib zakat.

Beliau rahimahullah merajihkan pendapat yang menjadwalkan syarat muzaki sreg barang yang keluar bersumber dunia hanyalah bisa disimpan (al-Iddikhâr), karena adanya denotasi yang sesuai dengan kewajiban zakat.

Berbeda dengan takaran, karena ia sekedar rincih format semata dan timbanganpun sama artinya dengannya.

Yang rajih –wallâhu a’lam- pensyaratan dapat ditakar adalah mu’tabar karena Utusan tuhan Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan takaran wasaq dalam menentukan nishab zakat hasil persawahan dan persawahan ini.

Maka dari itu karena itu, Syaikh Prof.DR. Shâlih bin Abdillah Al Fauzân –hafizhahullâh- menyatakan, “Diwajibkan zakat lega hasil perkebunan sebagai halnya korma, Zabib dan sejenisnya terbit semua nan ditakar dan bisa disimpan lama (Iddikhâr)”.

3. Boleh disimpan

Boleh disimpan, karena semua barang nan disepakati dikenai beban zakat faktual barang yang bisa disimpan.

Maka dari itu karena itu diwajibkan zakat plong semua biji-bijian dan biji pelir-buahan yang dapat ditakar dan disimpan, seperti gandung, kurma, anggur cengkar (Zabib) dan lain-lainnya.

4. Bersemi dengan kampanye dari manusia.

Tumbuhan yang tumbuh terlarang enggak ada zakatnya, karena bukan menjadi kepemilikannya secara lumrah.

Syarat ini diungkapkan dengan istilah: وَيُعْتَبَرُ أَنْ يَكُوْنَ النِّصَابُ مَمْلُوْكاً لَهُ وَقْتَ وُجُوْبِ الزَّكَاةِ Dan nishab yang dianggap ialah nishab yang menjadi miliknya ketika tahun kewajiban zakat [Lihat asy-Syarhul Mumti’ 6/78].

5. Mencapai nisab

Mencapai nishab yaitu seukuran 5 wasaq berdalilkan sabda beliau : لَيْسَ فِيْ حَبٍّ وَلاَ ثَمَرٍ صَدَقَةٌ حَتَّى يَبْلُغَ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ Tidak suka-suka barang bawaan zakat pada biji-bijian dan buah kurma hingga mencapai 5 ausaaq (lima wasaq) [HR Mukmin].

Suatu mudnya ialah seukuran penuh dua telapak tangan orang yang sedang. Lima wasaq nan dijadikan standar yaitu setelah pembasuhan biji-bijian dan kering pada buah-buahan.

MENCAMPUR HASIL Dunia Dalam SETAHUN Dalam Menunaikan janji NISHAB

Sudah diketahui bersama bahwa buah tamar memiliki banyak spesies, suka-suka sukkari, barkhi dan khullash serta yang lainnya. Buat menyempurnakan, maka spesies-spesies itu dicampur dan disatukan. Demikian lagi misalnya beras dengan perbuatan spesiesnya.

Apabila koteng mempunyai daerah persawahan nan tersebar dibeberapa lokasi lewat ditanami padi dengan spesies yang berbeda-beda, maka hasil panennya dihitung semuanya minus mengeluarkan spesiesnya..

Apabila sudah lalu mencapai nishab, maka diwajibkan menggaji zakat. Demikian juga bila panennya lebih semenjak sekali, maka dicampurkan panen sejauh setahun lampau zakatnya ditunaikan.

Saja bila jenisnya berbeda seperti kurma dengan zabib (anggur kering/kismis), maka itu enggak dicampur dalam menghitung nishabnya.

Anak lelaki Qudâmah rahimahullah berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat diantara para Cerdik pandai pada selain biji-bijian dan atsman (kencana dan argentum) untuk tak disatukan satu keberagaman dengan jenis yang lainnya dalam penyempurnaan nishab.

Fauna peliharaan ada tiga jenis yaitu gamal, sapi dan wedus. Tidak dicampur satu variasi berbunga hewan ternak tersebut dengan lainnya dan buah-buahan bukan dicampur dengan buah lainnya.

Sehingga kurma bukan dicampur dengan anggur kering (kismis) dan kacang (lauz) tidak dicampur dengan kacang fustaq serta tak sesuatu bermula peristiwa-hal ini dicampur kepada lainnya.

Atsmân (kencana dan perak) bukan dicampur dengan hewan ternak dan enggak pula dengan ponten-bijian dan buah-buahan. Tak ada perbedaan pendapat diantara mereka bahwa spesies dari jenis-keberagaman tersebut dicampur internal penyempurnaan nishab.

Kami tidak mengetahui perbedan diantara mereka lagi dalam barang dagangan dicampur dengan atsmân dan atsmân dicampur dengan produk komoditas, kecuali imam asy-Syâfi’i rahimahullah nan lain menggabungnya kecuali kepada jenis nan dijadikan produk dibeli; karena nishabnya mu’tabar”.

Varietas biji-bijian dari satu jenis digabungkan, sehingga jenis gandum yang majemuk digabungkan. Demikian juga jenis beras dengan rajalele, sadani, mentik wangi, IR dan lainnya digabungkan bagi menyempurnakan nishab.

Demikian juga bila sendiri memiliki beberapa lahan di gelanggang yang berbeda, maka digabungkan hasil dari semua lahan yang ada untuk memenuhi nishab.

Bani Qudâmah rahimahullah menjelaskan bahwa Ulama berbeda pendapat dalam menggabungkan nilai-bijian bagi menyempurnakan nishab dan menyatukan emas dan perak kepada nan lainnya.

Diriwayatkan dari pater Ahmad tiga riwayat yaitu : Riwayat pertama yaitu tak digabung suatu jenis biji-bijian dengan lainnya dan nishabnya dengan standar n domestik suatu jenis tersebut sahaja.

Ini merupakan pendapat ‘Atha’, Makhûl, Ibnu Abi laila, al-Auzâ’i, ats-Tsauri, al-Hasan kacang Shalih, Syuraik, asy-Syâfi’i, Serdak Ubaid, Abu Tsaur dan ashâb ar-ra’i; karena biji-bijian itu beda jenisnya sehingga nishabnya diperhitungkan dalam setiap jenisnya seperti buah-buahan dan dabat piaraan.

Riwayat kedua: biji-bijian seluruhnya digabungkan dalam memenuhi nishab. Ini adalah pendapat Ikrimah dan Ibnu Mundzir menceritakannya berpangkal Thawûs.

Riwayat ketiga: al-hinthah digabungkan dengan gandum dan al-quthniyat kembali. al-Quthniyat yakni jenis ponten-bijian berupa ‘adas, al-himsh, beras, as-simsim, ad-dakhn dan kacang tanah. Ini disampaikan al-Khiraqi dari Ahmad dan ini adalah madzhab imam Mâlik.

Sesudah menyampaikan hal ini Anak laki-laki Qudâmah rahimahullah menyatakan, “Riwayat permulaan kian rajih –insya Allâh-, karena biji-bijian tersebut beda jenisnya sehingga bisa jadi dibedakan, tidak digabungkan seperti biji pelir-buahan.

Waktu ZAKAT HASIL PERTANIAN DAN Persawahan DITUNAIKAN

Zakat pada angka-bijian mulai diwajibkan apabila kredit-bijian itu telah kuat dan tahan bila di tekan. Padahal pada buah-buahan adabila telah layak konsumsi seperti mana sudah memerah atau menguning sreg biji pelir korma.

Penjelasan tentang cukup konsumsi ini ada dalam beberapa hadits diantaranya Hadits Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu secara marfû’ dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى تُزْهَي. قِيْلَ: وَمَا زَهْوَهَا؟ قَالَ: تَحْمَارُّ وتُصْفَارُّ

Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menggandar buah-buahan hingga matang. Ada yang bertanya, ‘Apa tanda matangnya?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Memerah dan matang.’ [Muttafaqun ‘Alaih]

Apabila buah-buahan sudah nampak layak dikonsumsi atau biji-bijian sudah matang, maka diwajibkan padanya zakat, ini menurut pendapat yang rajih n domestik hal ini.

Sebagian Cerdik pandai ada yang bersandar kepada keumuman firman Allâh Azza wa Jalla pada surat al-An’âm ayat ke-141 cak bagi memerintahkan zakat pertanian bilamana panennya.

Semata-mata mayoritas Ulama memandang perian wajibnya zakat pertanian adalah ketika telah menguning dan pada hasil perkebunan ketika pas konsumsi.

Apa manfaat dari mengetahui masa kewajiban zakat ini ? Manfaatnya adalah empunya jika beraktifitas puas buah-buahan atau biji-bijian tersebut sebelum terkena kewajiban zakat maka anda tidak berdosa.

Seperti seseorang yang mengkonsumsi hewan ternaknya atau menjualnya sebelum genap setahun maka ia tak mengapa dan tak dikenai hukuman apapun.

Dia tidak berdosa dengan syarat enggak ada maksud atau niatan untuk lari bersumber muatan zakat.

Apabila sira sengaja melakukan sesuatu dengan niatan dan tujuan lari dari kewajiban zakat maka kewajiban zakat teguh berlaku dan enggak luruh.

Tidak akan dianggap turut waktu wajib zakat setakat hasil bumi tersebut masuk kelumbung atau arena penyimpanan.

Jikalau hasil bumi tersebut hilang maupun berkurang sebelum waktu tersebut tanpa ada kesengajaan, maka tidak ada zakat padanya (bila tidak hingga sisanya nishab) sungguhpun sudah ditebas alias belum.

Apabila hilang sesudah masuk dalam penyimpanan, menurut Anak laki-laki Qudâmah hukumnya menjadi tanggungannya, karena kewajiban telah masuk dalam beban jawabnya, sehingga menjadi hutangnya.

[lihat al-Mughni, 4/169-171] Berdalilkan peristiwa ini maka hasil perladangan dan perkebunan punya tiga keadaan: Hilang atau memasap sebelum masa kewajiban zakat yaitu sebelum biji-bijian menjadi masak dan sebelum buah-buahan layak konsumsi, maka pemiliknya tidak dikenakan segala apa-segala, baik cak semau unsur kesengajaan atau keteledoran atau tanpa keduanya, kecuali bila sengaja bakal lari dari barang bawaan zakat.

Hilang atau lenyap sesudah musim terbiasa zakat namun belum hingga disimpan dalam kabu-kabu maupun tempat penyimpanan.

Maka hukumnya dirinci, bila karena kesengajaan atau keabaian tuan maka ia wajib menukar zakat tersebut dan bila tanpa kesengajaan dan kelengahan maka tidak ada beban menggilir zakat tsrebut.

Hilang alias lucut sehabis disimpan, maka pendeta Anak lelaki Qudâmah rahimahullah menyatakan wajib menunaikan zakatnya dalam semua keadaan, baik ada kesengajaan atau tidak, karena zakat sudah masuk musim wajibnya dan menjadi tanggung jawabnya.

(al-Mughni 4/170-171).

Padahal syaikh Ibnu Utsaimin menyatakan, “Nan benar intern keadaan yang ketiga ini adalah lain terbiasa zakat selama tidak ada molekul kesengajaan atau keteledoran; karena harta yang ada padanya sesudah disimpan ditempat penyimpanan merupakan amanah.

Apabila cak semau kesengajaan atau kecuaian seperti menjorokkan-nunda penyetoran zakatnya sampai harta tersebut dicuri atau yang sejenisnya, maka dia bertanggung jawab (menggantinya).

Apabila lain ada kesengajaan alias keteledoran dan telah berusaha semampunya bagi segera membayarnya namun hilang pun dengan adanya usaha yang benar n domestik membudidayakan dan menjaganya, maka bukan ada muatan menggantinya.[asy-Syarhu al-Mumti’ 6/82].

Dimensi ZAKAT HASIL Perkebunan DAN Perladangan

Dimensi zakat hasil pertanaman dan persawahan ini bisa dirinci dalam 5 situasi: 1. Diwajibkan mengeluarkan seper sepuluh (10 %) apabila disiram tanpa pembiayaan (tadah hujan dan sejenisnya), seperti perkebunan tadah hujan angin, pertanian menggunakan wai dan alat penglihatan air

2. Perlu mengeluarkan seperduapuluh (5 %) apabila diairi dengan pembiayaan, berdalilkan hadits Abdullâh polong Umar Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: فِيْمَا سَقَتِ السّماءُ وَاْلعُيُوْنُ، أَوْ كَانَ عَثَريّاً : الْعُشُرُ، وَمَا سُقِيَ بِالنَّضْحِ: نِصْفُ الْعُشُرِ Lega pertanian yang tadah hujan angin atau mata air alias yang menggunakan penghirupan akar tunggang (atsariyan) diambil sepersepuluh dan yang disirami dengan penyiraman maka diambil seperduapuluh. [HR al-Bukhâri]

3. Diwajibkan mengasingkan 7,5 % apabila diairi dengan pembiayaannya 50 % dan tadah hujannya 50 %.

Hal ini sudah menjadi Ijma’ (lega dada) para Jamhur sebagaimana disampaikan Ibnu Qudâmah kerumahtanggaan al-Mughni 4/165.

4. Yang diairi dengan pembiayan dan non pembiayaan secara bergantian. Contohnya sawah nan diairi dengan irigasi yang bayar dan lagi terkena hujan, maka dilihat mana yang minimal berpengaruh plong pertumbuhan tanaman tersebut.

Bila nan tadah hujan yang labih dominan maka diwajiban membebaskan 10 % dan bila sebaliknya maka diwajibkan 5 % saja.

5. Apabila tidak diketahui dimensi mana yang dominan maka diwajibkan mengeluarkan 10 %, karena plong asalnya diwajibkan zakat 10 % hingga diketahui dengan jelas bahwa itu diairi dengan pembiayaan.

Originally posted on

May 25, 2022 @ 3:02 am


Source: https://dalamislam.info/kewajiban-zakat-hasil-pertanian-dan-buah-buahan-dalam-islam/